Jumat, 24 Februari 2017

TEORI SPIRAL KEHENINGAN Theory Spiral of Silent

TEORI SPIRAL KEHENINGAN
Theory Spiral of Silent
Berdasarkan penelitian Elisabeth Noelle-Neumann

            Noelle-Neumann berfokus pada apa yang terjadi ketika orang mnyatakan opini mereka mengenai topik-topik yang telah didefinisikan oleh media bagi publiknya. Teori Spiral Keheningan menyatakan bahwa mereka memiliki sudut pandang yang minoritas mengenai isu public akan tetap berada di latar belakang, dimana komuniaksi mereka akan dibatasi; Mereka yang yakin bahwa mereka memiliki sudut pandang yang mayoritas akan lebih terdorong untuk membuka suara. Noelle-Neumann (1983) menyatakan bahwa media akan lebih berfokus pada pandangan mayoritas, dan meremenhkan pandangan minoritas.
            Karena kekuasaanya yang begitu besar, Media memiliki dampak yang awet dan mendalam terhadap opini publik. Media Massa bekerja secara kesinambungan dengan menyuarakan opini mayoritas untuk membungkam opini minoritas, khususnya mengenai isu-isu budaya dan sosial. Rasa takut akan adanya isolasi, menyebabkan mereka yang memiliki pandangan minoritas untuk mempelajari keyakinan orang lain. Individu-individu yang takut terisolasi secara sosial, secara rentan untuk sepakat dengan apa yang mereka anggap sebagai pandangan mayoritas. Walaupun begitu, individu-individu yeng terbungkam ini terkadang menyuarakan pendapat mereka memlalui kegiatan aktivisme.
Teori Spiral Keheningan ini secara unik menyilangkan opini publik dan media. Untuk lebih memahami perbatasan ini, pertama-tama akan diuraikan tentang pemikiran mengenai opini publik. Komponen utama dari teori ini. Kemudian tiga asumsi dari teori ini akan dibahas.

A.    Mimbar Opini Publik
Istilah yang terletak pada inti teori spiral keheningan adalah istilah yang secara umum diterima tetapi menurutnya seringkali disalah artikan sebagai opini publik.Noelle-Neumann (1984,1993) memisahkan opini publik menjadi dua istilah yang terpisah, yakni opini dan publik.
Ia melihat terdapat tiga makna dari publik. Pertama, terdapat asosiasi hukum dengan istilah ini. Publik mengisyaratkan keterbukaan bagi semua orang. Seperti, tanah “tanah publik” atau “wilayah publik”. Kedua, public berkaitan dengan konsep yang berhubungan dengan isu-isu atau orang.  Seperti dalam “tanggung jawab public pada jurnalis”. Ketiga, public mewakili sisi sosial-psikologis dari manusia. Yaitu, orang tidak berfikir dalam dirinya saja, tetapi juga berpeikie mengenai hubungan mereka dengan orang lain.
Opini (opinion) adalah ekspresi dari suatu sikap. Opini dapat bervariasi baik dalam hal intesitas, dan stabilitas. Dengan melihat pada interpretasiawal dalam bahasa Prancis dan bahasa Ingrris dari opini, Noelle-Neumann menyatakan opini adalah tingkat persetujuan dari populasi tertentu. Dalam proses spiral kehedingan, opini sama artinya dengan sesuatu yang dianggap berterima.
Menggabungkan kesemua hal ini, Noelle-Neumann mendefinisikan Opini Publik sebagai sikap atau perilaku yang diekspresikan seseorang di depan public jika ia tidak ingin menyebabkan dirinya terisolasi; dalam area-area kontroversi atau perubahan. Opini public adalah sikap yang dapat diekspresikan tanpa harus memunculkan bahaya akan isolasi terhadap dirinya.

B.     Asumsi Teori Spiral Keheningan
Dengan adanya opini public sebagai dasar teori ini, Pada teori ini, Noelle-Neumann telah membahas tiga penyataan sebelumnya. Yaitu ;
1.      Masyarakat mengancam individu-individu yang menyinmpan dengan adanya isolasi; rasa takut terhadap isolasi sangat berkuasa.
Pada asumsi pertama ini menyatakan bahwa masyarakat memegang kekuasaan terhadap mereka yang tidak sepakat memalui ancaman akan isolasi. Noelle-Neumann percaya bahwa struktur masyarakat kita bergantung sepenuhnya pada orang-orang yang secara bersama menentukan dan mendukung seperangkat nilai. Dan opini publik lah yang menentukan apakah nilai-nilai ini diyakini secara sama di seluruh populasi.Ketika orang sepakat mengenai seperangkat nilai bersama, maka, ketakutan akan isolasi  akan muncul.
2.      Rasa takut akan isolasi menyebabkan individu-individu untuk setiap saat mencoba menilai iklim opini.
Asumsi kedua ini meyatakan bahwa orang secara terus-menerus menilai iklim dari opini publik. Noelle-Neumann berpendapat bahwa individu-individu menerima infmasi mengenai opini publik dari dua sumber, yakni melalui observasi pribadi dan media.
3.      Perilaku publikdipengaruhi oleh penilaian akan opini publik
Asumsi ketiga atau terakhir dari teorin spiral keheningan menyatakan bahwa perilaku publik dipengaruhi evaluasi opini publik. Noelle-Neumann mengemukakan bahwa perilaku publik dapat berupa berbicara mengenai suatu topik atau tetap diam. Jika individu-individu meraakan adanya dukung mengenai suatu topik, maka mereka akan cenderung mengomunikasikan hal itu; jika mereka merasa bahwa orang-orang lainnya tidak mendukung suatu topik, maka mereka akan tetap diam. Ia melanjutkan, “Kekuatan sinyal dari sekelompok pendukung dan kelemahan yang lain dari kelompok yang lain, merupakan tenaga pendorong yang menggerakkan sebuah spiral.
C.     Pengaruh Media
Teori Spiral Keheningan berpijak pada opini publik. Noelle-Neumann mengingatkan bahwa banyak dari populasi menyesuaikan perilakunya pada arahan media. Nancy Eckstein da Paul Turman sepakat. Mereka menyatakan bahwa media dapat memberikan dorongan di belakang Teori Spiral Keheningan karena media dianggap sebagai percakapan satu sisi, sebuah bentuk komunikais publik yang tidak langsung dimana orang merasa tidak kuasa untuk memberikan respon.
Pertimbangan tiga karakteristik media yang dikemukakan oleh teoritikus, yakni Ubikuitas, Kekumulatifan  dan Konsonansi.
a.       Ubikuitas
Ubikuitas atau ubiquity merujut pada fakta bahwa media adalah sumber informasi yang berkuasa. Karena media ada dimana-mana, banyak orang yang bergantung pada media ketika mencari informasi.
b.      Kekumulatifan
Kekumulatifan atau cumulativeness dari media merujuk pada proses media yang mengulangi dirinya sendiri melintasi program dan waktu. Sering kali, seseorang akan membaca suatu cerita di surat kabar pagi, mendengarkan cerita yang sama saat berkendara, dan kemudian menonton cerita tersebut pada berita sora hari. Noelle-Neumann menyebut hal ini sebagai pengaruh resiptokal dalam bentuk kerangka referensi. Teori ini menyatakan, bahwa persetujuan terhadap suatu suara memengaruhi informasi apa yang dikeluarkan pada public untuk membantu mereka membentuk suatu opini public.
c.       Konsonansi
Konsonansi atau consonance berhubungan dengan kesamaan keyakinan sikap dan nilai yang dipegang oleh media. Noelle-Neumann menyatakan bahwa konsonansi dihasilkan dari tendensi orang-orang berita untuk menginformaikan idea dan opini mereka sendiri, dan ini membuat bahwa sepertinya opini ini berasal dari public.
Para Hard Core
Tekadang minoritas yang diam mulai bangkit. Kemolpok ini, yang disebut Hard Core, yakni tetap berada pada ujung akhir dari proses spiral keheningan tanpa memedulikan ancaman akan isolasi. Noelle-Neumannmelihat bahwa seperti kenbanyakan hal dalam hidup, terdapat pengecualian pada setiap peraturan atau teori. Para Hard Core ini mewakili sekelompok individu yang tahu ada harga yang harus dibayar bagi keasetifan mereka. Para penyimpang ini berusaha untuk menentang cara berfikir yang dominan dan siap untuk secara langsung mengonfrontasi siapapun yang menghalangi mereka.
Noelle-Neumann mengemukakan mengenai karya dari psikolog sosial Gary Shulman dalam usahanya untuk lebih memahami para Hard Core. Shulman berargumen bahwa jika opini mayoritas menjadi cukup besar, suara mayoritas menjadi berkurang kekuatannya karena tidak terdapat opini alternative.
D.    Kritik dan Penuturp
Teori Spiral Keheningan merupakan satu dari sedikit teori dalam komunikasi yang berfokus pada opini publik. Teori ini telah dinyatakan sebagai dasar yang penting dalam mempelajari kondisi masnusia.
Teori Noelle-Neumann ini tidak luput dari kritik. Dan banyak kritik tersebut berkaitan dengan kurangnya konsistensi logis dalam beberapa istilah dan konsep. Caroll Glynn dan Jack McLeod melihat bahwa terdapat dua kekurangan tambahan berkaitan dengan konsistensi logis dari teori ini. Pertama, mereka percaya bahwa rasa takut terisolasi mungkin tidakn akan memotivasi orang untuk mengemukakan opini mereka. Kedua, mereka berargumen bahwa Noelle-Neumann tidak mengakui adanya pengaruh komuniktas seseorang dan kelompok referensi terhadap seseorang. Mereka percaya bahwa ia terlalu banyak berfokus pada media.

Noelle-Neumann telah memberikan respon terhadap beberapa kritikusnya dengan mempertahankan penekanannya pada media. Ia tetap yakin media sangat penting dalam opini public. Ia menulis bahwa “dengan menggunakan kata-kata dan argument-argumen yang diambil dari media untuk mendiskusikan suatu topik, orang menyebabkan sudut pandang tersebut didengar di depan public dan membuatnya terlihat, dan karenanya menciptakan sebuah situasi dimana bahaya isolasi dikurangi”. 

Perbedaan Makna Istilah Kebebasan Pers Dan Kemerdekaan Pers

Perbedaan Makna Istilah Kebebasan Pers Dan Kemerdekaan Pers

Dalam Pembahasan ini, penulis ingin membhas terkait perbedaan istilah Kebebasan Pers dan Kemerdekaan Pers. Keduanya memiliki fungsi yang sama yakni menamin insan pers untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Tetapi tentunya ada perbedaan diantara keduanya.
Dalam hukum dan perundang-undangan, media dan pelaku pers diberikan ruang gerak yang cukup luas. Hal ini dibahasakan dalam undang-undang sebagai “Kebebasan Pers”. Dengan adanya jaminan bagi insan pers ini, mempermudah bagi pekerja media dalam menjalankan profesinya. Namun dalam praktek lapangannya, kebebasan yang diberikan ini pun terkadang disalah gunakan, atau diistilahkan sebagai kebebasan tanpa “Rem” dan tidak terkontrol.
Meskipun, sejatinya insan pers juga diikat oleh kode etik jurnalistik, pada prakteknya pelaku pers mampu mengesampingkan etika tersebut demi sebuah informasi dan mengatasnamakan “kebebasan pers”. Meskipun hal tersebut dapat merugikan orang lain.

Maka, dengan hal itu, kalimat kebebasan pers inipun direvisi. Untuk menciptakan perilaku pers yang lebih bertanggugjawab. Yakni dengan mengubah “Kebebasan Pers” menjadi “Kemerdekaan Pers”. Dimana pelaku atau insan pers dapat menjalankan kebebasannya dalam mencari informasi. Namun dilakukan degan tanggungjawab. Serta tanpa mengesampingkan hak-hak orang lain untuk tidak dirugikan dalam penyebaran informsi tersebut.

PERANAN PERSEPSI DALAM EFEKTIVITAS KOMUNIKASI


A.    Pendahuluan
Komunikasi dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Bahkan berkomunikasi menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Sehingga kegagalan dalam berkomunikasi seringkali menimbulkan kesalahpahaman, kerugian, dan bahkan malapetaka bagi manusia. Baik secara individu maupun berkelompok, bahkan secara kelembagaan.
Komunikasi adalah proses penyampian pesan, serta berbagi makna melalui perilaku verbal maupun nonverbal. Dalam proses komunikasi, keberhasilannya ditentukan oelh berbagai faktor. Baik secara internal maupun eksternal. Suksesnya proses komunikasi jika dapat menghasilkan komunikasi yang efektif, yang tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor baik itu dari segi komunikator maupun dari komunikan.
Proses komunikasi sendiri juga tidak lepas dengan adanya persepsi yang dibentuk oleh pikiran manusia. Yang kemudian ditangkap oleh alat indera, dan terproses dengan kolaborasi ingatan.
Komunikasi yang kurang diimbangi dengan adanya persepsi yang tepat dapat menyebabkan kesalahan dalam memnyampaikan pesan, dari komunikator ke komunikan. Tidak sedikit terjadi kesalahpahaman dalam aktivitas komunikasi, sebagai akibat dari persepsi yang tidak seiring oleh salah satu pihak pelaku komunikasi.
Akibat yang ditimbulkan dapat menimbulkan maslaah, baik skala kecil maupun besar. Baik secara individual, kelompok ataupun secara organisasi dan lembaga. Kita sebut saja beberapa akibat yang dapat ditimbulkan, yakni pertikaian, konflik berkepanjangan. Hal ini, karena kedudukan persepsi memiliki peran yang mampu menguatkan informasi atau pesan yang disampaikan dalam proseskomunikasi.
 Komunikasi efektif dapat tercapai, apabila pelaku komunikasi memahami tentang pengertian dari komunikasi efektif, proses komunikasi efektif dan unsur-unsur komunikasi efektif.
  
B.     Pembahasan
1.      Persepsi Adalah Inti Komunikasi
Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran atau interpretasi adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian dalam proses komunikasi. Menurut J Cohen dalam buku Deddy Mulyana, persepsi didefinisikan sebagai interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal ; Persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana.
Sedangkan, McShane dan Von Glinov pada buku Wibowo mendefiniksikan persepsi sebagai proses menerima informasi membuat pengertian tentang dunia sekitar. Hal tersebut memerlukan pertimbangan informasi mana yang perlu diperhatikan, bagaimana mengkatagorikan informasi, dan bagaimana menginterpretasikan dalam kerangka kerja pengetahuan yang telah ada.
Persepsi dikatakan sebagai inti komunikasi, karena persepsi dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi yang dilakukan. Jika persepsi seseorang tidak akurat, maka seseorang tersebut tidak mungkin untuk berkomunikasi secara efektif.
Seseorang hidupdan melakukan aktivitas dalam suatu lingkungan dinamis dan berinteraksi dengan orang lain yang berada didalamnya. Orang-orang dapat melihat objek  yang sama, tetapi dapat memiliki kesan yang berbeda terhadap objek tersebut. Begitu pula dengan pandangan seseorang yang juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Kesan seseorang dipengaruhi oleh informasi yang ia miliki. Masalahnya, menjadi lebih kompleks jika persepsi seseorang terlalu cepat disimpilkan. Sehingga dapat memungkinkan hilangnya sebagian dari informasi. Hal tersebut dapat berakibat pada terjadinya bias persepsi.



a.       Faktor yang mempengaruhi persepsi
Persepsi dibentuk oleh tiga faktor yakni (1) Perceiver, Orang yang memberikan persepsi, (2) Target, orang atau objek yang menjadi sasarn persepsi, (3) situasi, keadaan pada saat persepsi dilakukan.
Faktor perceiver mengandung bebeepa komponen. Antara lain; sikap, motif, minat atau kepentingan, pengalaman, dan harapan. Sedangkan faktor target memiliki tujuh komponen, antara lain; novelty atau sesuatu yang baru, gerakan, suara, besaran dan ukuran, latar belakang, kedekatan, dan kesamaan. Pada faktor situasi mengandung tida komponen, yakni; waktu, pengaturan kerja, dan pengaturan sosial.
Apabila melihat faktor tersebut, target persepsi akan berusaha meninterpretasikan pada yang Perceiver lihat. Interpretasi ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik personal dari pemberi persepsi. Disamping itu, situasi dapat mempengaruhi persepsi yang terbentuk.
Jika seseorang melihat atau mendengan pesan yang disampaikan orang lain, maka persepsi terhadap orang itu mungkin saja keliru atau salah. Dalam hal demikian maka telah terjadi kesalahan persepsi.
Kesalahan persepsi tersebut, terbagi dalam beberapa bentuk. Diantaranya,
1.      Kesahahan atribusi. Atribusi adalah proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab perilaku orang lain. Namun terkadang dugaan sseseorang kepada orang lain, tidak selalu benar.
2.      Efek Halo. Efek halo ini merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaianseseorang akan sifat-sifat yang spesifik.
   Stereotip. Yakni mengeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai seseorang berdasarkan keanggotaannya dalam suatu kelompok.
      Prasangka, yang juga menjadi suatu konsep yang dekat dengan streotip.
    Gegar budaya. Adalah suatu ketidakmampuan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru.

Meskipun kesalahan persepsi ini kepar terjadi, proses perspsi itu sendiri tidak dapat dipintas atau dipotong. Sehingga yang harus dilakukan oleh pelaku komunikasi, yakni memperkecil bias dan distorsi yang ditimbulkan oleh persepsi. Dengan begitu kemungkinan untuk mencapai komunkasi efektif semakin meningkat.

2.      Persepsi Dalam Efektivitas Komunikasi
Menurut Colquitt, LePine, dan Wesson dalam Wibowo, faktor yang memengaruhi efektivitas proses komunikasi adalah Komunikator, isu, noise, information richness, dan network structure.
Pada faktor komunikator, perlu adanya encode, mensandi dan menginterpretasikan pesan, dan aktivitas ini bisa menjadi sumber masalah komunikasi. Interpretasi receiver mungkin saja bisa salah, yang terlebih dahulu diawali oleh persepsi yang salah. Sehingga penerima pesan memiliki kemungkinan salah dalam menginterpretasikan pesan.
McShane dan Von Glinov menekankan, bahwa efektivitas komunikasi, tergantung pada kemampuan komunikator dan komunikannya atau receiver nya. Untuk secara efesien dan akurat encode, memberi sandi dan decode, serta memecahkan sandi informasi.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi efektivitas proses encode dan decode. Diantaranya, komunikator dan komunikan memiliki referensi simbol dan kode yang sama, memiliki model mental yang sama, serta pengalaman. Faktor ini juga tentunya membentuk persepsi dan membantu dalam mengiterpretasikan sebuah pesan dalam aktivitas komunikasi. Sehingga sangat penting bagi pelaku komunikasi menyadari bias nya persempsi untuk memperkecil tingkat kegagalan dalam membangun komunikasi efektif.

C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan, peranan persepsi dalam membentuk komunikasi efektif sangat penting. Dimana aktivitas komunikasi dapat gagal, karena ada kegagalan persepsi atau persepsi yang salah, antara komunikator dan komunikan. Sehingga penting bagi pelaku komunikasi menyadari bias persepsi yang terjadi saat melakukan proses penyampaian informasi.
Meskipun kesalahan persepsi dengan berbagai bentuk sering terjadi terjadi dalam proses komunikasi, namun proses pembentukan persepsi tersebut juga tidak dapat dipotong. Sehingga yang harus dilakukan oleh pelaku komunikasi, yakni memperkecil bias dan distorsi yang ditimbulkan oleh persepsi. Dengan begitu kemungkinan untuk mencapai komunkasi efektif semakin meningkat.

Daftar Pustaka
Mulyana, Deddy.  Ilmu Komunikasi ; Sebuah Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Mulyana, Deddy.  Komunikasi Efektif ; Pendekatan Lintas Budaya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008

Wibowo.  Perilaku Dalam Organisasi ; Edisi Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015.