Istilah Komunikasi sudah lazim terdengar, meskipun masing-masing orang
mengartikannya secara berbeda-beda. B Aubey Fisher menyatakan bahwa fenomena
komunikasi manusia sedemikian kompleksnya hingga digambarkan melalui tiga kata
: Serba Ada, Serba Luas, dan Serba Makna.
Pernyataan Aubrey Fisher tentang fenomena komunikasi ini dapat dibenarkan
jika menilik sejumlah konsep komunikasi yang berubah secara mendasar dari tahun
ke tahun.
Keserbaan yang dibahas oleh Aubrey Fisher ini memang tidak bisa ditolak.
Pada beberapa orang yang menginginkan satu batasan atau satu paradigma tunggal,
kenyataan ini akan cukup memusingkan. Namun, inilah kenyataan yang harus
diterima, bahwa Ilmu Komunikasi memang “Serba Ada, Serba Luas, dan Serba
Makna”.
Untuk memperjelas keserbaan ini, berikut kutipan Aubrey Fisher yang dapat
diajukan:
“Saya tampaknya mempertahankan pandangan aliran Fayerabend tentang
komunikasi manusia yang diwarnai dengan paradigma yang multimuka dan saya kira
begitulah saya - tidak mesti bersumber dari keyakinan bahwa ilmu yang
berparadigma multimuka itu lebih unggul dari ilmu yang uniparadigmatis, akan
tetapi karena begitulah adanya! Bidang komunikasi manusia tidak hanya ditandai
paradigma. Realitas masyarakat ilmiah merupakan dunia yang terdiri dari para
ahli dengan ikatan yang longgar dimana yang tidak sependapat tentang masalah
jauh lebih banyak dari pada yang mereka sepakati secara bersama. Menghadiri
Konvensi Asosiasi Komunikasi Internasional
ataupun Speech Communication Association akan mengukuhkan adanya
realitas itu. Pembentukan fraksi dan kelompok kecil menandai masyarakat apa
yang telah nyata. Apabila satu wilayah bidang itu mencoba untuk memaksa kepada
wilayah lain untuk menerima perangkat katagori mereka, mereka hanya dapat
meningkatkan fraksi dan kelompok kecil tersebut.” (Fisher, 1990).
Melihat pemikiran Aubrey Fisher, tentunya pembahasan tentang Ilmu
Komunikasi kurang lengkap jika tidak mengulas tentang pemikirannya. Terdapat
empat perspektif Ilmu Komunikasi yang dikemukakan oleh Aubrey Fisher (1978),
yaitu Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional dan Pragmatisme.
PROFILE SINGKAT AUBREY FISHER
B. Aubrey Fisher merupakan salah seorang pakar Ilmu Komunkasi yang
terkenal. Ia berhasil mencatat adanya paradigma dalam ilmu komunikasi sesuai
judul buku “Perspective On Human Cummunication”, yang dicetak pertama kali pada
1978. Ia merupakan seorang guru besar di University of Utah.
Dalam kajiannya Fisher tidak menggunakan istilah paradigma, melainkan
istilah perspektif. Karena menurut pendapatnya istilah paradigma dari Khun itu
ditafsirkan secara berbeda. Sehingga mencegah penggunaannya yang netral. Namun
apa yang dimaksud paradigma itu sama dengan perspektif.
Kehadiran Fisher manambah kajian tentang paradigma lama dan paradigma baru
dalam bidang Ilmu Komunikasi.
1. Perspektif
Mekanistis
Para ahli teori sosial dan filsuf
ilmu umumnya sependapat bahwa ilmu sosial/ perilaku amat banyak meminjam dari
ilmu fisika, pada saat disiplin baru itu menjalani perkembangan selama
tahun-tahun pembentukannya. Perspektif mekanistis komunikasi manusia menekankan
pada unsur fisik komunikasi, penyampaian dan penerimaan arus pesan seperti ban
berjalan di antara sumber atau para penerimanya. Semua fungsi penting dari
komunikasi terjadi pada saluran, lokus , perspektif mekanistis. Ilmu fisika
yang dominant pada beberapa abad ini merupakan perspektif mekanistis, umumnya
dikenal sebagai “fisika klasik”.
Ø
Model perspektif mekanistis
komunikasi manusia.
Saluran merupakan tempat untuk
menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan secara kontinu atau
terus-menerus, tanpa adanya saluran maka komponen- komponen komunikasi lainnya
akan terkatung- katung secara koseptual dalam ruangan. Karena secara jelas
perspektif mekanistis menempatkan komunikasi bulat- bulat pada saluran.
Karena terlalu memfokuskan kepada
saluran, maka timbul hambatan dan kegagalan dalam komunikasi. Hambatan tersebut
lebih banyak dilihat sebagai hambatan psikologis yang terdapat dalam kemampuan
kognitif dan afektif Individual dalam menyandi dan mengalih sandi pesan.
Encoding merupakan proses pentransformasian
pesan dari satu bentuk ke bentuk yang lain pada saat penyampaian. Sedangkan
pengalihan sandi atau decoding merupakan proses pentransformasian pesan
dari satu bentuk ke bentuk yang lain pada saat penerimaan atau di titik
tujuan.
Jika
komunikatornya lebih dari dua, maka memerlukan penjaga gerbang atau disebut gate
keeping. Penjaga gerbang berfungsi menerima informasi dari suatu sumber dan
merelai informasi tersebut kepada seorang penerima.
2. Perspektif
Psikologis
Banyak penelitian komunikasi dalam
tradisi empiris ilmu sosial kontemporer telah meminjam secara
besar-besaran dari psikologi, tetapi fenomena ini dapat dimengerti. Sejak
berabad-abad komunikasi meminjam dari disiplin lain seperti filsafat,
sosiologi, bahasa dan lain sebagainya. Banyak yang menganggap bahwa tradisi
meminjam ini adalah hal yang wajar karena komunikasi merupakan disiplin yang
elektik (electic).
Ø
Karakteristik Penjelasan Psikologis
Seperti halnya komunikasi, psikologi
merupakan disiplin yang beraneka ragam dengan
spesialisasi-spesialisasi yang dihubungkan secara longgar, misalnya psikologi
kepribadian, psikologi sosial, psikologi industri, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, pandangan psikologis komunikasi tidak mencakup semua hal dari satu
teori saja dalam psikologi. Ingat bahwa peminjaman komunikasi dari psikologi
secara relatife bersifat dangkal dan sporadis. Akibatnya, disini tidaklah
dimaksudkan untuk mengemukakan cirri-ciri esensial penjelasan psikologis. Akan
tetapi, tujuannya adalah untuk menandai ciri-ciri penjelasan psikologis yang
tampaknya mengarahkan ahli komunikasi yang mempergunakannya.
Ø
Model perspektif psikologi komuniksi
manusia.
Pertama- tama,
perspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus, yang
secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Dalam model psikologis
manusia ditandai sebagai makhluk yang memiliki fungsi ganda menghasilkan dan
menerima stimuli- jadi manusia adalah seorang komunikator/ penfsir stimuli
informasional.
Psikologis komunikasi memiliki model
yang berbeda dari model psikologis yang menjelaskan semua perilaku dalam
kerangka asumsi bahwa semua manusia dalam medan stimulus
menghasilkan sejumlah besar stimulus yang ditangkap oleh orang lain. Karena
itu, sampai batas- batas tertentu, tiap komunikator telah terorientasi secara
psikologis kepada yang lain.
Filter konseptual merupkan suatu “kata petunjuk”, yang ditujuan untuk
mencakup semua konstruk yang beragam yang telah dipakai untuk melukiskan secara
teoritis kegiatan internal dalam diri manusia. Filter konseptual juga berfungsi
untuk membantu proses penyandian, apabila proses penyandian kurang ditangkap
dengan baik.
Salah satu hambatan perspektif
psikologi, yaitu kecenderungan mendehumanisasikan manusia dan pada akhirnya
membuat mereka tidak berdaya terhadap lingkungan mereka sendiri.
Penggambaran tentang perspektif
psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara
manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif
ini terdapat pendekatan metodologis, konsep yang dipakai, serta definisi
operasional yang digunakan, yang amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu,
ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar kekalutan yang terdapat di dalam
disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter konseptual yang berupa
black box (seperti: sikap, persepsi, keyakinan, dan keinginan) telah
mempercepat timbulnya arah yang berlainan.
3. Perspektif
Interaksional
Meskipun asal mula perspektif
interaksional komunikasi manusia dapat ditelusuri sampai kefilsafat
ekstensialisme dan bahkan ke Socrates, sumbernya yang khusus dan komprehensif
dari perspektif ini secara langsung ataupun tidak langsung adalah interaksional
komunikasi manusia.
Secara lebih khusus lagi, arah
perkembangan dalam masyarakat ilmiah komunikasi manusia yang memperlakukan
komunikasi sebagai dialog adalah adanya indikasi yang terang sekali dari pendekatan
interaksional pada studi komunikasi manusia.
Popularitas interaksional berasal
dari reaksi humanistis terhadap mekanisme dan psikologisme. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah pemberian penekanan yang
manusiawi pada diri sebagai unsur pokok perspektif interaksional. Tetapi dari
pada memandang diri hanya sebagai internalisasi pengalaman individual,
interasionisme lebih menerangkan perkembangan diri melalui proses “penunjukan
diri” di mana individu dapat “bergerak keluar” dari diri dan melibatkan dirinya
dalam intropeksi dari sudut pandang orang lain. Dengan cara yang sama individu
dapat melibatkan dirinya dalam pengambilan peran dan mendefinisikan diri maupun
orang lain dari sudut pandang orang lain.
Fenomena pengambilan peran inilah
yang memungkinkan adanya pengembangan diri semata- mata sebagai proses sosial-
dalam proses intropeksi maupun ekstropeksi. Oleh karena hanya melalui interaksi
sosial hubungan dapat dikembangkan. Dan pengambilan peran tidak hanya merupakan
unsur sentral dari perspektif interaksional, akan tetapi juga
menjadi unsur yang unik.
Perspektif interaksional menekankan
tindakan yang bersifat simbolis dalam suatu perkembangan yang bersifat proses
dari komunikasi manusia. Penekanannya pada tindakan memungkinkan pengambilan
peran untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan tindakan individu
dengan tindakan individu- individu yang lain untuk membentuk kolektivitas.
Tindakan bersama dari kolektivitas itu mencerminkan tidak hanya pengelompokan
sosial akan tetapi juga adanya perasaan kebersamaan ataupun keadaan timbal
balik dari individu- individu yang bersangkutan, yang dilukiskan dalam model
sebagai “kesearahan” orietasi individu- individu terhadap diri orang lain, dan
objek.
Ø
Model perspektif interaksional
komunikasi manusia.
Komunikator interaksional merupakan
penggabungan yang kompleks dari individualisme sosial, yakni seorang individu yang mengembangkan potensi kemanusiawiannya
melalui interaksi sosial.
Implikasi yang paling penting dari
perspektif interaksional bagi studi komunikasi manusia adalah adanya
penyempurnaan pemberian penekanan pada metodologi penelitian.
Implikasinya yang pertama mencakup pemahaman yang disempurnakan tentang peran
yang akan dijalankan oleh peneliti. Dari pada hanya digambarkan sebagai seorang
pengamat yang sifatnya berat sebelah, dan tidak tertarik atas fenomena empiris,
penelitian interaksional menjalankan peranannya sebagai seorang pengamat-
partisipan dalam pelaksanan penelitiannya. Dari sudut pandang mereka, peneliti
mengoperasionalkan konsep dan menjalankan observasi empirisnya. Akan tetapi, validasi
konsep penelitiannya bergeser dari criteria eksternal ke sudut pandangan para
subjek penelitian itu sendiri.
Perspektif interaksional dengan
jelas merupakan sumber yang menarik perhatian orang dalam
pengertian bahwa ia berada dalam tahap perkembangan yang kontinu. Dalam artian
sebagai “revolusi yang belum tuntas”, setiap penemuan penelitian secara
relative bersifat baru dan mengarah ke banyak arah yang baru.
4. Perspektif
Pragmatis
Pragmatis merupakan studi tentang
bagaimana lambing- lambing itu berhubungan dengan orang lain. Aspek pragmatis
komunikasi berpusat pada perilaku komunikator sebagai komponen fundamental
komunikasi manusia. Pragmatika berpandangan bahwa komunikasi dan perilaku
sesungguhnya sama.
Prinsip-prinsip pragmatika secara
langsung lebih banyak berasal dari teori system umum, campuran, multi
disipliner dari asumsi, konsep, dan prinsip- prinsip, yang berusaha menyediakan
kerangka umum bagi studiberbagai jenis fenomena- fisika, biologi, dan sosial.
Teori system merupakan seperangkat prisip yang terorganisasikan secara longgar dan bersifat amat abstrak, yang berfungsi untuk mengarahkan
jalan pikiran kita, namun yang tergantung pada berbagai penafsiran.
Pada prinsipnya perspektif pragmatis
merupakan alternatif bagi perspektif mekanistis dan psikologis, dengan
memfokuskan pada urutan perilaku yang sedang berlangsung dalam ruang lingkup
filosofis dan metodologis teori system umum dan teori informasi. Penekanannya
pada urutan interaksi yang sedang berjalan, yang membatasi dan mendefinisikan
system sosial, merupakan pemindahan dari penekanan perspektif interaksional pada pengambilan peran yang
diinternalkan. Meskipun demikian, pemberian penekanan pada perilaku interaktif,
sekalipun penjelasan kejadiannya itu berbeda, merupakan penekanan yang sama bagi
perspektif pragmatis dan interaksional.
Yang fundamental bagi setiap studi
komunikasi manusia yang serius dalam perspektif pragmatis
adalah daftar kategori yang menyatakan fungsi yang dilakukan oleh komunikasi
manusia dan yang memungkinkan tindakan komunikatif untuk diulang kembali pada
saat yang bersamaan.
Untuk mengkonseptualisasikan
komunikasi dari perspektif pragmatis sama saja dengan
memperbaharui secara drastic pola pikiran yang semula tentang komunikasi. Akan
tetapi untuk mengkonseptualisasikan komunikasi sebagai suatu tindakan
“partisipasi” atau “memasuki” suatu system komunikasi ataupun hubungan
memerlukan “goncangan” pada cara berpikir kita yang tradisional.
Walaupun demikian, kemampuan untuk
mengenal cara kita berpikir dan menggunakan berbagai perspektif merupakan suatu
tanda seorang yang terpelajar, dan kemampuan untuk
mengkonseptualisasikan, termasuk kemampuan untuk merekonseptualisasikan adalah
isyarat adanya pemahaman yang meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu
Komunikasi. Simbiosa Rekatama Media: Bandung.
Arifin Anwar. 1988. Ilmu Komunikasi -
Lembaga Kajian Inovasi Indonesia, CV. Surya Pradana: Ujung Pandang –
Indonesia.
Mufid Muhammad. 2009. Etika dan Filsafat
Komunikasi. Kencana: Jakarta.
Vardiansyah Dani, 2008. Filsafat Ilmu
Komunikasi Suatu Pengantar. PT Indeks: Jakarta.