Jumat, 20 Juli 2018

Perspektif Komunikasi Aubrey Fisher


Pemikiran B Aubrey Fisher

Istilah Komunikasi sudah lazim terdengar, meskipun masing-masing orang mengartikannya secara berbeda-beda. B Aubey Fisher menyatakan bahwa fenomena komunikasi manusia sedemikian kompleksnya hingga digambarkan melalui tiga kata : Serba Ada, Serba Luas, dan Serba Makna.
Pernyataan Aubrey Fisher tentang fenomena komunikasi ini dapat dibenarkan jika menilik sejumlah konsep komunikasi yang berubah secara mendasar dari tahun ke tahun.
Keserbaan yang dibahas oleh Aubrey Fisher ini memang tidak bisa ditolak. Pada beberapa orang yang menginginkan satu batasan atau satu paradigma tunggal, kenyataan ini akan cukup memusingkan. Namun, inilah kenyataan yang harus diterima, bahwa Ilmu Komunikasi memang “Serba Ada, Serba Luas, dan Serba Makna”.
Untuk memperjelas keserbaan ini, berikut kutipan Aubrey Fisher yang dapat diajukan:
“Saya tampaknya mempertahankan pandangan aliran Fayerabend tentang komunikasi manusia yang diwarnai dengan paradigma yang multimuka dan saya kira begitulah saya - tidak mesti bersumber dari keyakinan bahwa ilmu yang berparadigma multimuka itu lebih unggul dari ilmu yang uniparadigmatis, akan tetapi karena begitulah adanya! Bidang komunikasi manusia tidak hanya ditandai paradigma. Realitas masyarakat ilmiah merupakan dunia yang terdiri dari para ahli dengan ikatan yang longgar dimana yang tidak sependapat tentang masalah jauh lebih banyak dari pada yang mereka sepakati secara bersama. Menghadiri Konvensi Asosiasi Komunikasi Internasional  ataupun Speech Communication Association akan mengukuhkan adanya realitas itu. Pembentukan fraksi dan kelompok kecil menandai masyarakat apa yang telah nyata. Apabila satu wilayah bidang itu mencoba untuk memaksa kepada wilayah lain untuk menerima perangkat katagori mereka, mereka hanya dapat meningkatkan fraksi dan kelompok kecil tersebut.” (Fisher, 1990).
Melihat pemikiran Aubrey Fisher, tentunya pembahasan tentang Ilmu Komunikasi kurang lengkap jika tidak mengulas tentang pemikirannya. Terdapat empat perspektif Ilmu Komunikasi yang dikemukakan oleh Aubrey Fisher (1978), yaitu Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional dan Pragmatisme.

PROFILE SINGKAT AUBREY FISHER

B. Aubrey Fisher merupakan salah seorang pakar Ilmu Komunkasi yang terkenal. Ia berhasil mencatat adanya paradigma dalam ilmu komunikasi sesuai judul buku “Perspective On Human Cummunication”, yang dicetak pertama kali pada 1978. Ia merupakan seorang guru besar di University of Utah.
Dalam kajiannya Fisher tidak menggunakan istilah paradigma, melainkan istilah perspektif. Karena menurut pendapatnya istilah paradigma dari Khun itu ditafsirkan secara berbeda. Sehingga mencegah penggunaannya yang netral. Namun apa yang dimaksud paradigma itu sama dengan perspektif.
Kehadiran Fisher manambah kajian tentang paradigma lama dan paradigma baru dalam bidang Ilmu Komunikasi.

1.     Perspektif Mekanistis
Para ahli teori sosial dan filsuf ilmu umumnya sependapat bahwa ilmu sosial/ perilaku amat banyak meminjam dari ilmu fisika, pada saat disiplin baru itu menjalani perkembangan selama tahun-tahun pembentukannya. Perspektif mekanistis komunikasi manusia menekankan pada unsur fisik komunikasi, penyampaian dan penerimaan arus pesan seperti ban berjalan di antara sumber atau para penerimanya. Semua fungsi penting dari komunikasi terjadi pada saluran, lokus , perspektif mekanistis. Ilmu fisika yang dominant pada beberapa abad ini merupakan perspektif mekanistis, umumnya dikenal sebagai “fisika klasik”.

Ø  Model perspektif mekanistis komunikasi manusia.
Saluran merupakan tempat untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan secara kontinu atau terus-menerus, tanpa adanya saluran maka komponen- komponen komunikasi lainnya akan terkatung- katung secara koseptual dalam ruangan. Karena secara jelas perspektif mekanistis menempatkan komunikasi bulat- bulat pada saluran.
Karena terlalu memfokuskan kepada saluran, maka timbul hambatan dan kegagalan dalam komunikasi. Hambatan tersebut lebih banyak dilihat sebagai hambatan psikologis yang terdapat dalam kemampuan kognitif dan afektif Individual dalam menyandi dan mengalih sandi pesan.
Encoding merupakan proses pentransformasian pesan dari satu bentuk ke bentuk yang lain pada saat penyampaian. Sedangkan pengalihan sandi atau decoding merupakan proses pentransformasian pesan dari satu bentuk ke bentuk yang lain pada saat penerimaan atau di titik tujuan.
Jika komunikatornya lebih dari dua, maka memerlukan penjaga gerbang atau disebut gate keeping. Penjaga gerbang berfungsi menerima informasi dari suatu sumber dan merelai informasi tersebut kepada seorang penerima.

2.     Perspektif Psikologis
Banyak penelitian komunikasi dalam tradisi empiris ilmu sosial kontemporer telah meminjam secara besar-besaran dari psikologi, tetapi fenomena ini dapat dimengerti. Sejak berabad-abad komunikasi meminjam dari disiplin lain seperti filsafat, sosiologi, bahasa dan lain sebagainya. Banyak yang menganggap bahwa tradisi meminjam ini adalah hal yang wajar karena komunikasi merupakan disiplin yang elektik (electic).

Ø  Karakteristik Penjelasan Psikologis
Seperti halnya komunikasi, psikologi merupakan disiplin yang beraneka ragam dengan spesialisasi-spesialisasi yang dihubungkan secara longgar, misalnya psikologi kepribadian, psikologi sosial, psikologi industri, dan lain sebagainya. Sebenarnya, pandangan psikologis komunikasi tidak mencakup semua hal dari satu teori saja dalam psikologi. Ingat bahwa peminjaman komunikasi dari psikologi secara relatife bersifat dangkal dan sporadis. Akibatnya, disini tidaklah dimaksudkan untuk mengemukakan cirri-ciri esensial penjelasan psikologis. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk menandai ciri-ciri penjelasan psikologis yang tampaknya mengarahkan ahli komunikasi yang mempergunakannya.

Ø  Model perspektif psikologi komuniksi manusia.
Pertama- tama, perspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus, yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Dalam model psikologis manusia ditandai sebagai makhluk yang memiliki fungsi ganda menghasilkan dan menerima stimuli- jadi manusia adalah seorang komunikator/ penfsir stimuli informasional.
Psikologis komunikasi memiliki model yang berbeda dari model psikologis yang menjelaskan semua perilaku dalam kerangka asumsi bahwa semua manusia dalam medan stimulus menghasilkan sejumlah besar stimulus yang ditangkap oleh orang lain. Karena itu, sampai batas- batas tertentu, tiap komunikator telah terorientasi secara psikologis kepada yang lain.
Filter konseptual merupkan suatu “kata petunjuk”, yang ditujuan untuk mencakup semua konstruk yang beragam yang telah dipakai untuk melukiskan secara teoritis kegiatan internal dalam diri manusia. Filter konseptual juga berfungsi untuk membantu proses penyandian, apabila proses penyandian kurang ditangkap dengan baik.
Salah satu hambatan perspektif psikologi, yaitu kecenderungan mendehumanisasikan manusia dan pada akhirnya membuat mereka tidak berdaya terhadap lingkungan mereka sendiri.
Penggambaran tentang perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat pendekatan metodologis, konsep yang dipakai, serta definisi operasional yang digunakan, yang amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter konseptual yang berupa black box (seperti: sikap, persepsi, keyakinan, dan keinginan) telah mempercepat timbulnya arah yang berlainan.

3.     Perspektif Interaksional
Meskipun asal mula perspektif interaksional komunikasi manusia dapat ditelusuri sampai kefilsafat ekstensialisme dan bahkan ke Socrates, sumbernya yang khusus dan komprehensif dari perspektif ini secara langsung ataupun tidak langsung adalah interaksional komunikasi manusia.
Secara lebih khusus lagi, arah perkembangan dalam masyarakat ilmiah komunikasi manusia yang memperlakukan komunikasi sebagai dialog adalah adanya indikasi yang terang sekali dari pendekatan interaksional pada studi komunikasi manusia.
Popularitas interaksional berasal dari reaksi humanistis terhadap mekanisme dan psikologisme. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah pemberian penekanan yang manusiawi pada diri sebagai unsur pokok perspektif interaksional. Tetapi dari pada memandang diri hanya sebagai internalisasi pengalaman individual, interasionisme lebih menerangkan perkembangan diri melalui proses “penunjukan diri” di mana individu dapat “bergerak keluar” dari diri dan melibatkan dirinya dalam intropeksi dari sudut pandang orang lain. Dengan cara yang sama individu dapat melibatkan dirinya dalam pengambilan peran dan mendefinisikan diri maupun orang lain dari sudut pandang orang lain.
Fenomena pengambilan peran inilah yang memungkinkan adanya pengembangan diri semata- mata sebagai proses sosial- dalam proses intropeksi maupun ekstropeksi. Oleh karena hanya melalui interaksi sosial hubungan dapat dikembangkan. Dan pengambilan peran tidak hanya merupakan unsur sentral dari perspektif interaksional, akan tetapi juga menjadi unsur yang unik.
Perspektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam suatu perkembangan yang bersifat proses dari komunikasi manusia. Penekanannya pada tindakan memungkinkan pengambilan peran untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan tindakan individu dengan tindakan individu- individu yang lain untuk membentuk kolektivitas. Tindakan bersama dari kolektivitas itu mencerminkan tidak hanya pengelompokan sosial akan tetapi juga adanya perasaan kebersamaan ataupun keadaan timbal balik dari individu- individu yang bersangkutan, yang dilukiskan dalam model sebagai “kesearahan” orietasi individu- individu terhadap diri orang lain, dan objek.

Ø  Model perspektif interaksional komunikasi manusia.
Komunikator interaksional merupakan penggabungan yang kompleks dari individualisme sosial, yakni seorang individu yang mengembangkan potensi kemanusiawiannya melalui interaksi sosial.
Implikasi yang paling penting dari perspektif interaksional bagi studi komunikasi manusia adalah adanya penyempurnaan pemberian penekanan pada metodologi penelitian. Implikasinya yang pertama mencakup pemahaman yang disempurnakan tentang peran yang akan dijalankan oleh peneliti. Dari pada hanya digambarkan sebagai seorang pengamat yang sifatnya berat sebelah, dan tidak tertarik atas fenomena empiris, penelitian interaksional menjalankan peranannya sebagai seorang pengamat- partisipan dalam pelaksanan penelitiannya. Dari sudut pandang mereka, peneliti mengoperasionalkan konsep dan menjalankan observasi empirisnya. Akan tetapi, validasi konsep penelitiannya bergeser dari criteria eksternal ke sudut pandangan para subjek penelitian itu sendiri.
Perspektif interaksional dengan jelas merupakan sumber yang menarik perhatian orang dalam pengertian bahwa ia berada dalam tahap perkembangan yang kontinu. Dalam artian sebagai “revolusi yang belum tuntas”, setiap penemuan penelitian secara relative bersifat baru dan mengarah ke banyak arah yang baru.

4.     Perspektif Pragmatis
Pragmatis merupakan studi tentang bagaimana lambing- lambing itu berhubungan dengan orang lain. Aspek pragmatis komunikasi berpusat pada perilaku komunikator sebagai komponen fundamental komunikasi manusia. Pragmatika berpandangan bahwa komunikasi dan perilaku sesungguhnya sama.
Prinsip-prinsip pragmatika secara langsung lebih banyak berasal dari teori system umum, campuran, multi disipliner dari asumsi, konsep, dan prinsip- prinsip, yang berusaha menyediakan kerangka umum bagi studiberbagai jenis fenomena- fisika, biologi, dan sosial. Teori system merupakan seperangkat prisip yang terorganisasikan secara longgar dan bersifat amat abstrak, yang berfungsi untuk mengarahkan jalan pikiran kita, namun yang tergantung pada berbagai penafsiran.
Pada prinsipnya perspektif pragmatis merupakan alternatif bagi perspektif mekanistis dan psikologis, dengan memfokuskan pada urutan perilaku yang sedang berlangsung dalam ruang lingkup filosofis dan metodologis teori system umum dan teori informasi. Penekanannya pada urutan interaksi yang sedang berjalan, yang membatasi dan mendefinisikan system sosial, merupakan pemindahan dari penekanan perspektif interaksional pada pengambilan peran yang diinternalkan. Meskipun demikian, pemberian penekanan pada perilaku interaktif, sekalipun penjelasan kejadiannya itu berbeda, merupakan penekanan yang sama bagi perspektif pragmatis dan interaksional.
Yang fundamental bagi setiap studi komunikasi manusia yang serius dalam perspektif pragmatis adalah daftar kategori yang menyatakan fungsi yang dilakukan oleh komunikasi manusia dan yang memungkinkan tindakan komunikatif untuk diulang kembali pada saat yang bersamaan.
Untuk mengkonseptualisasikan komunikasi dari perspektif pragmatis sama saja dengan memperbaharui secara drastic pola pikiran yang semula tentang komunikasi. Akan tetapi untuk mengkonseptualisasikan komunikasi sebagai suatu tindakan “partisipasi” atau “memasuki” suatu system komunikasi ataupun hubungan memerlukan “goncangan” pada cara berpikir kita yang tradisional.
Walaupun demikian, kemampuan untuk mengenal cara kita berpikir dan menggunakan berbagai perspektif merupakan suatu tanda seorang yang terpelajar, dan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan, termasuk kemampuan untuk merekonseptualisasikan adalah isyarat adanya pemahaman yang meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Simbiosa Rekatama Media: Bandung.

Arifin Anwar. 1988. Ilmu Komunikasi - Lembaga Kajian Inovasi Indonesia, CV. Surya Pradana: Ujung Pandang – Indonesia.

Mufid Muhammad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Kencana: Jakarta.

Vardiansyah Dani, 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT Indeks: Jakarta.


Kamis, 19 Juli 2018

Teori Marxisme Klasik


Teori Marxisme Klasik

Teori Marxisme Klasik merupakan teori yang memandang media sebagai alat yang digunakan oleh kelas dominan untuk mendapatkan keuntungan, dengan menanamkan ideologi tertentu yang menekan kelas minoritas. 
Teori Marxis ini menekankan pada peran media massa yang cenderung mempertahankan status quo. Kontras dengan teori media massa liberal pluralis yang menekankan pada peran media yang memiliki kebebasan berbicara. Dalam Marxist Klasik, media massa merupakan suatu cara produksi yang menjadikan kapitalis milik kelas penguasa. Produk-produk media merupakan cerminan nilai-nilai kelas penguasa, yang mengabaikan keragaman nilai-nilai baik dalam kelas penguasa maupun dalam media itu sendiri.
Kunci utama teori Marxist ini adalah, materialis yang menentukan kesadaran makhluk sosial. Sesuai dengan pandangan ini, posisi ideologi adalah fungsi dari posisi kelas dan ideologi kelas dominan. Hal ini berbeda dengan pandangan idealis yang menekankan pada kesadaran.
Pada teori ini, media massa memiliki fungsi menyebarkan ideologi dominan. Yaitu nilai-nilai kelas yang memiliki dan mengendalikan media.

Teori Ekonomi Politik Media


 Teori Ekonomi Politik Media

 Sumber Ilustrasi: Hipwee

            Dalam teorinya, Vincent Moscow mendeskripsikan teori ekonomi politik media sebagai sebuah studi yang mengkaji tentang hubungan sosial. Utamanya kekuatan dari hubungan sosial yang secara timbal balik, meliputi proses produksi, distribusi dadn konsumsi produksi. Kemunculan teori ini didasari oleh besarnya pengaruh media terhadap perubahan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini media memiliki peran signifikan dalam peningkatan surplus ekonomi.
            Dalam teorinya, Mosco menawarkan tiga konsep dasar untuk memahami terkait ekonomi politik media. Diantaranya Komodifikasi, Spasialisasi, dan Stukturasi.
            Komodifikasi, merupakan proses dimana produk media yang berupa informasi dan hiburan, menjadi barang dagang yang dapat dipertukarkan dan bernilai ekonomis. Dalam konsep komodifikasi ini, Moscow membaginya dalam tiga bagian, yakni Komodifikasi Konten, Komodifikasi Audiens atau Khalayak, dan Komodifikasi Pekerja.
Spasialisasi, pada konsep ini dimaknai sebagai perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan seberapa besar bentuk usaha media tersebut. Ukurannya media dalam konsep ini dapat berbentuk horizontal maupun vertikal. Dalam bentuk horizontal. perpanjangan ini biasanya menjelma dalam bentuk-bentuk konglomerasi, yang memunculkan tindakan monopoli. Sedangkan spasialisasi vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaan, yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi. Terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media
Terakhir, konsep strukturasi. Konsep ini menyangkut tentang hubungan sosial, kelas sosial, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur masyarakat, yang berpengaruh dalam produksi suatu media. Dalam konsep ekonomi politik media, struktur sosial inisangat penting dalam membangun hubungan antar kelas atau bagian yang ada, dengan tujuan demi memetakan informasi apa yang bisa di sampaikan. Dengan berdampak, masyarakat memberikan feedbsck terhadap informasi tersebut.


Kamis, 24 Mei 2018

Menetapkan Teknik Sampling Penelitian


MENETAPKAN TEKNIK SAMPLING

Mengutip Buku “Metodologi Penelitian”
By Drs Cholid Narbuko dan DRS Abu Achmadi

Harus disadari bersama bahwa di dalam masalah sampel ada yang disebut : biased sample : yaitu sample yang tidak mewakili populasi, atau disebut juga dengan “sampel yang menyeleweng” sedang pengambilan sampel yang menghasilkan sampel yang menyeleweng tersebut : biased sampling. Biased sampling adalah pengambilan sampel yang tidak dari seluruh populasi, tetapi hanya dari salah satu golongan populasi saja, tetapi hanya dari satu golongan populasi saja, tetapi generalisasinya dikenakan kepada seluruh golongan populasi. Sebagai contoh misalnya : mengadakan penelitian tentang penghasilan rata-rata orang Indonesia, hanya diambil sampel yang kaya raya saja, ataupun hanya melarat/miskin saja. Dengan sendirinya akan mengakibatkan adanya kesimpulan yang menyeleweng atau disebut conclusion.

TEKNIK-TEKNIK SAMPLING
Pada dasarnya ada dua macam teknik sampling; yaitu teknik random sampling dan non random sampling. Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara singkat keduanya untuk memberikan petunjuk praktis bagi para pembaca untuk melaksanakan penelitian sampling, seperti yang dijelaskan oleh Prof Sutrisno Hadi MA.

a. Teknik Random Sampling
Teknik random sampling adalah teknik pengambilan sampel di mana semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel.

Random sampling yang juga diberi istilah pengambilan sampel secara rambang atau acak yaitu pengambilan sampel yang tanpa pilih-pilih atau tanpa pandang bulu, didasarkan atas prinsip-prinsip matematis yang telah diuji dalam praktek. Karenanya dipandang sevagai teknik sampling paling baik dalam penelitian.

Sampel yang diperoleh secara rambang lebih mantap bila dibandingkan dengan isidensial sampel yang diperoleh secara insidental, sebab cara ini kurang menggunakan prinsip ilmiah yang baik.
Dalam praktek, prosedur random sampling meliputi :
1.) Cara undian
2.) Cara ordinal
3.) Cara randomisasi dari tabel bilangan random

Untuk memperoleh gambaran baiklah dijelaskan singkat mengenai tigga prosedur tersebut.

1.) Cara undian
Pengambilan sampel secara undian ialah seperti layaknya orang melaksanakan undian. Adapun langkah-langkahnya adalah :
a.) Membuat daftar yang berisi semua subjek, objek peristiwa atau kelompok-kelompok yang akan diselidiki.
b.) Memberi kode yang berupa angka-angka untuk semua yang akan diselidiki dalam nomor 1).
c.) Menulis kode tersebut masing-masing pada selembaran kertas kecil.
d.) Menggulung setiap kertas kecil berkode tersebut
e.) Memasukkan gulungangulungan kertas tersebut dalam kaleng atau tempat sejenis
f.) Mengocok tempat tersebut
g.) Mengambil satu per satu gulungan tersebut sejumlah kebutuhan.

2.) Cara Ordinal
Cara ini dilakukan dengan memilih nomor-nomor genap atau gasal atau kelipatan tertentu. Langkahnya :
a. Membuat daftar yag berisisemua subyek, objekperistiwa atau kelompok yang akan diteliti lengkap dengan nomor urutnya.
b. Mengambil nomor-nomr tertentu, misalnya nomor-nomor gasal semua, atau nomor genap semua atau nomor-nomor kelipatan tertentu.
Misalnya :



Maka yang terpilih sebagai anggota samper adalah misalnya:
1. Nomor-nomor 1, 3, 5, 7, 9 atau
2. Nomor-nomor 2, 4, 6, 8, atau
3. Nomor 3,6, 9
3.) Cara Randomisasi dari Tabel Bilangan Random
Cara ini menuntun para oeneliti untuk memilih anggota sampel dengan langkah:
a. Membuat daftar nomor dan nama subjek
b. Membuat tabel yang berisikan nomor-nomor subyek
c. Menjatuhkan pensil secara acak pada petak-petak tabel yang berisi nomor sampai diperoleh jumlah yang dibutuhkan.

B. Teknik Non Random Sampling
Teknik non random sampling adalah cara pengambilan sampel yang tidak semua anggota populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel. Adapun macam-macamnya, antara lain:
1. Proportional sampling
2. Stratified sampling
3. Purp[osive sampling
4. Quota sampling
5. Double sampling
6. Area probability sampling
7. Cluster sampling

a) Teknik Proportional Sampling
Teknik ini menghendaki cara pengambilan sampel dari tiap-tiap sub populasi dengan memperhitungkan besar kecilnya sub-sub populasi tersebut.
Cara ini dapat memberi landasasn generalisasi yang lebih dapat dipertanggung jawabkan daripada apabila tanpa memperhitungkan besar kecilnya sub populsi dan tiap-tiap sub populasi.
Contoh : Penelitian mengambil 50 anak bodoh dan 50 anak pandai dengan mendasarkan pada tingkat IQ mereka. Maka perbandingan kedua kelompok tersebut disertai dengan teknik random, adakalanya tidak. Apabila teknik proportional sampling disetai random maka disebut proportional random sampling.

b) Teknik Stratified Sampling
Teknik ini biasa digunakan apabnila populasi terdiri dari susunan kelompok-kelompok yang bertingkat. Penelitian pendidikan sering menggunakan tekni ini, misalnya apabila meneliti tingkat-tingkat pendidikan tingkat kelas.
Langkahnya :
1. Mencatat banyaknya tingkatan yang ada dalam populasi
2. Menetukan jumlah tingkatan pada sampel berdasarkan catatan tersebut.
3. Memilih anggota sampel dari masing-masing tingkatan pada catatan dengan teknik proportional ataupun proportional random sampling.

c) Teknik Purposive Sampling
Teknik ini berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkutpaut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Jadi ciri-ciri atau sifat-sifat yang spesifik yang ada atau dilihat dalam populasi dijadikan kunci untuk pengamblan sampel.

d) Teknik Quota Sampling
Teknik ini menghendaki pengambilan sampel dengan mendasarkan diri pada Quotum. Peneliti harus terlebih dahulu menetapkan jumlah subjek yang akan diselidiki/diteliti. Subyek populasi ini harus ditetapkan kriterianya untuk menetapkan kriteria sampel.

Ciri pokok dalam quota sampling adalah bahwa jumlah subyek yang telah ditetapkan akan terpenuhi. Kelemahan utamanya teknik ini adalah para petugas pengambil sampel kurang terawasi apakah kriteria –kriteria dalam populasi sudah tercermin dalam sampel.

e) Teknik Double Sampling
Yaitu pengambilan sampel yang mengusahakan adanya sampel kembar. Yang dimaksud dengan sampel kembar yakni sampel yang diperoleh, misalnya secara angket. Dari cara itu, ada angket yang kembali ada yang tidak kembali. Masing masing kelmpok dicatat kemudian bagi angket yang tidak kembali dipertegas dengan interview. Jadi sampling kedua ini berfungsi untuk mengecek sampling pertama atau angket yang kembali.

f) Teknik Area Probability Sampling
Teknik ini menghendaki cara pengambilan sampel yang mendasarkan pada pembagian area yang ada pada populasi. Artinya daerah yang ada pada populasi dibagi-bagi menjadi beberapa daerah yang lebih kecil.

g) Teknik Cluster Sampling
Teknik ini menghendaki adanya kelompok-kelompok dalam pengambilan sampel berdasarkan atas kelompok-kelompok yang ada pada populasi. Jadi populasi sengaja dipandang berkelompok, kemudian kelompok itu tercermin dalam sampel.

Dalam suatu penilitian bisa digunakan teknik kombinasi. Misalnya menentukan subyek penelitian digunakan teknik area probability sampling. Sedangkan dalam menentukan objeknya digunakan teknik random, maka teknik yang digunakan adalah Area Probability Random Sampling.

Jumat, 24 Februari 2017

TEORI SPIRAL KEHENINGAN Theory Spiral of Silent

TEORI SPIRAL KEHENINGAN
Theory Spiral of Silent
Berdasarkan penelitian Elisabeth Noelle-Neumann

            Noelle-Neumann berfokus pada apa yang terjadi ketika orang mnyatakan opini mereka mengenai topik-topik yang telah didefinisikan oleh media bagi publiknya. Teori Spiral Keheningan menyatakan bahwa mereka memiliki sudut pandang yang minoritas mengenai isu public akan tetap berada di latar belakang, dimana komuniaksi mereka akan dibatasi; Mereka yang yakin bahwa mereka memiliki sudut pandang yang mayoritas akan lebih terdorong untuk membuka suara. Noelle-Neumann (1983) menyatakan bahwa media akan lebih berfokus pada pandangan mayoritas, dan meremenhkan pandangan minoritas.
            Karena kekuasaanya yang begitu besar, Media memiliki dampak yang awet dan mendalam terhadap opini publik. Media Massa bekerja secara kesinambungan dengan menyuarakan opini mayoritas untuk membungkam opini minoritas, khususnya mengenai isu-isu budaya dan sosial. Rasa takut akan adanya isolasi, menyebabkan mereka yang memiliki pandangan minoritas untuk mempelajari keyakinan orang lain. Individu-individu yang takut terisolasi secara sosial, secara rentan untuk sepakat dengan apa yang mereka anggap sebagai pandangan mayoritas. Walaupun begitu, individu-individu yeng terbungkam ini terkadang menyuarakan pendapat mereka memlalui kegiatan aktivisme.
Teori Spiral Keheningan ini secara unik menyilangkan opini publik dan media. Untuk lebih memahami perbatasan ini, pertama-tama akan diuraikan tentang pemikiran mengenai opini publik. Komponen utama dari teori ini. Kemudian tiga asumsi dari teori ini akan dibahas.

A.    Mimbar Opini Publik
Istilah yang terletak pada inti teori spiral keheningan adalah istilah yang secara umum diterima tetapi menurutnya seringkali disalah artikan sebagai opini publik.Noelle-Neumann (1984,1993) memisahkan opini publik menjadi dua istilah yang terpisah, yakni opini dan publik.
Ia melihat terdapat tiga makna dari publik. Pertama, terdapat asosiasi hukum dengan istilah ini. Publik mengisyaratkan keterbukaan bagi semua orang. Seperti, tanah “tanah publik” atau “wilayah publik”. Kedua, public berkaitan dengan konsep yang berhubungan dengan isu-isu atau orang.  Seperti dalam “tanggung jawab public pada jurnalis”. Ketiga, public mewakili sisi sosial-psikologis dari manusia. Yaitu, orang tidak berfikir dalam dirinya saja, tetapi juga berpeikie mengenai hubungan mereka dengan orang lain.
Opini (opinion) adalah ekspresi dari suatu sikap. Opini dapat bervariasi baik dalam hal intesitas, dan stabilitas. Dengan melihat pada interpretasiawal dalam bahasa Prancis dan bahasa Ingrris dari opini, Noelle-Neumann menyatakan opini adalah tingkat persetujuan dari populasi tertentu. Dalam proses spiral kehedingan, opini sama artinya dengan sesuatu yang dianggap berterima.
Menggabungkan kesemua hal ini, Noelle-Neumann mendefinisikan Opini Publik sebagai sikap atau perilaku yang diekspresikan seseorang di depan public jika ia tidak ingin menyebabkan dirinya terisolasi; dalam area-area kontroversi atau perubahan. Opini public adalah sikap yang dapat diekspresikan tanpa harus memunculkan bahaya akan isolasi terhadap dirinya.

B.     Asumsi Teori Spiral Keheningan
Dengan adanya opini public sebagai dasar teori ini, Pada teori ini, Noelle-Neumann telah membahas tiga penyataan sebelumnya. Yaitu ;
1.      Masyarakat mengancam individu-individu yang menyinmpan dengan adanya isolasi; rasa takut terhadap isolasi sangat berkuasa.
Pada asumsi pertama ini menyatakan bahwa masyarakat memegang kekuasaan terhadap mereka yang tidak sepakat memalui ancaman akan isolasi. Noelle-Neumann percaya bahwa struktur masyarakat kita bergantung sepenuhnya pada orang-orang yang secara bersama menentukan dan mendukung seperangkat nilai. Dan opini publik lah yang menentukan apakah nilai-nilai ini diyakini secara sama di seluruh populasi.Ketika orang sepakat mengenai seperangkat nilai bersama, maka, ketakutan akan isolasi  akan muncul.
2.      Rasa takut akan isolasi menyebabkan individu-individu untuk setiap saat mencoba menilai iklim opini.
Asumsi kedua ini meyatakan bahwa orang secara terus-menerus menilai iklim dari opini publik. Noelle-Neumann berpendapat bahwa individu-individu menerima infmasi mengenai opini publik dari dua sumber, yakni melalui observasi pribadi dan media.
3.      Perilaku publikdipengaruhi oleh penilaian akan opini publik
Asumsi ketiga atau terakhir dari teorin spiral keheningan menyatakan bahwa perilaku publik dipengaruhi evaluasi opini publik. Noelle-Neumann mengemukakan bahwa perilaku publik dapat berupa berbicara mengenai suatu topik atau tetap diam. Jika individu-individu meraakan adanya dukung mengenai suatu topik, maka mereka akan cenderung mengomunikasikan hal itu; jika mereka merasa bahwa orang-orang lainnya tidak mendukung suatu topik, maka mereka akan tetap diam. Ia melanjutkan, “Kekuatan sinyal dari sekelompok pendukung dan kelemahan yang lain dari kelompok yang lain, merupakan tenaga pendorong yang menggerakkan sebuah spiral.
C.     Pengaruh Media
Teori Spiral Keheningan berpijak pada opini publik. Noelle-Neumann mengingatkan bahwa banyak dari populasi menyesuaikan perilakunya pada arahan media. Nancy Eckstein da Paul Turman sepakat. Mereka menyatakan bahwa media dapat memberikan dorongan di belakang Teori Spiral Keheningan karena media dianggap sebagai percakapan satu sisi, sebuah bentuk komunikais publik yang tidak langsung dimana orang merasa tidak kuasa untuk memberikan respon.
Pertimbangan tiga karakteristik media yang dikemukakan oleh teoritikus, yakni Ubikuitas, Kekumulatifan  dan Konsonansi.
a.       Ubikuitas
Ubikuitas atau ubiquity merujut pada fakta bahwa media adalah sumber informasi yang berkuasa. Karena media ada dimana-mana, banyak orang yang bergantung pada media ketika mencari informasi.
b.      Kekumulatifan
Kekumulatifan atau cumulativeness dari media merujuk pada proses media yang mengulangi dirinya sendiri melintasi program dan waktu. Sering kali, seseorang akan membaca suatu cerita di surat kabar pagi, mendengarkan cerita yang sama saat berkendara, dan kemudian menonton cerita tersebut pada berita sora hari. Noelle-Neumann menyebut hal ini sebagai pengaruh resiptokal dalam bentuk kerangka referensi. Teori ini menyatakan, bahwa persetujuan terhadap suatu suara memengaruhi informasi apa yang dikeluarkan pada public untuk membantu mereka membentuk suatu opini public.
c.       Konsonansi
Konsonansi atau consonance berhubungan dengan kesamaan keyakinan sikap dan nilai yang dipegang oleh media. Noelle-Neumann menyatakan bahwa konsonansi dihasilkan dari tendensi orang-orang berita untuk menginformaikan idea dan opini mereka sendiri, dan ini membuat bahwa sepertinya opini ini berasal dari public.
Para Hard Core
Tekadang minoritas yang diam mulai bangkit. Kemolpok ini, yang disebut Hard Core, yakni tetap berada pada ujung akhir dari proses spiral keheningan tanpa memedulikan ancaman akan isolasi. Noelle-Neumannmelihat bahwa seperti kenbanyakan hal dalam hidup, terdapat pengecualian pada setiap peraturan atau teori. Para Hard Core ini mewakili sekelompok individu yang tahu ada harga yang harus dibayar bagi keasetifan mereka. Para penyimpang ini berusaha untuk menentang cara berfikir yang dominan dan siap untuk secara langsung mengonfrontasi siapapun yang menghalangi mereka.
Noelle-Neumann mengemukakan mengenai karya dari psikolog sosial Gary Shulman dalam usahanya untuk lebih memahami para Hard Core. Shulman berargumen bahwa jika opini mayoritas menjadi cukup besar, suara mayoritas menjadi berkurang kekuatannya karena tidak terdapat opini alternative.
D.    Kritik dan Penuturp
Teori Spiral Keheningan merupakan satu dari sedikit teori dalam komunikasi yang berfokus pada opini publik. Teori ini telah dinyatakan sebagai dasar yang penting dalam mempelajari kondisi masnusia.
Teori Noelle-Neumann ini tidak luput dari kritik. Dan banyak kritik tersebut berkaitan dengan kurangnya konsistensi logis dalam beberapa istilah dan konsep. Caroll Glynn dan Jack McLeod melihat bahwa terdapat dua kekurangan tambahan berkaitan dengan konsistensi logis dari teori ini. Pertama, mereka percaya bahwa rasa takut terisolasi mungkin tidakn akan memotivasi orang untuk mengemukakan opini mereka. Kedua, mereka berargumen bahwa Noelle-Neumann tidak mengakui adanya pengaruh komuniktas seseorang dan kelompok referensi terhadap seseorang. Mereka percaya bahwa ia terlalu banyak berfokus pada media.

Noelle-Neumann telah memberikan respon terhadap beberapa kritikusnya dengan mempertahankan penekanannya pada media. Ia tetap yakin media sangat penting dalam opini public. Ia menulis bahwa “dengan menggunakan kata-kata dan argument-argumen yang diambil dari media untuk mendiskusikan suatu topik, orang menyebabkan sudut pandang tersebut didengar di depan public dan membuatnya terlihat, dan karenanya menciptakan sebuah situasi dimana bahaya isolasi dikurangi”. 

Perbedaan Makna Istilah Kebebasan Pers Dan Kemerdekaan Pers

Perbedaan Makna Istilah Kebebasan Pers Dan Kemerdekaan Pers

Dalam Pembahasan ini, penulis ingin membhas terkait perbedaan istilah Kebebasan Pers dan Kemerdekaan Pers. Keduanya memiliki fungsi yang sama yakni menamin insan pers untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Tetapi tentunya ada perbedaan diantara keduanya.
Dalam hukum dan perundang-undangan, media dan pelaku pers diberikan ruang gerak yang cukup luas. Hal ini dibahasakan dalam undang-undang sebagai “Kebebasan Pers”. Dengan adanya jaminan bagi insan pers ini, mempermudah bagi pekerja media dalam menjalankan profesinya. Namun dalam praktek lapangannya, kebebasan yang diberikan ini pun terkadang disalah gunakan, atau diistilahkan sebagai kebebasan tanpa “Rem” dan tidak terkontrol.
Meskipun, sejatinya insan pers juga diikat oleh kode etik jurnalistik, pada prakteknya pelaku pers mampu mengesampingkan etika tersebut demi sebuah informasi dan mengatasnamakan “kebebasan pers”. Meskipun hal tersebut dapat merugikan orang lain.

Maka, dengan hal itu, kalimat kebebasan pers inipun direvisi. Untuk menciptakan perilaku pers yang lebih bertanggugjawab. Yakni dengan mengubah “Kebebasan Pers” menjadi “Kemerdekaan Pers”. Dimana pelaku atau insan pers dapat menjalankan kebebasannya dalam mencari informasi. Namun dilakukan degan tanggungjawab. Serta tanpa mengesampingkan hak-hak orang lain untuk tidak dirugikan dalam penyebaran informsi tersebut.

PERANAN PERSEPSI DALAM EFEKTIVITAS KOMUNIKASI


A.    Pendahuluan
Komunikasi dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Bahkan berkomunikasi menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Sehingga kegagalan dalam berkomunikasi seringkali menimbulkan kesalahpahaman, kerugian, dan bahkan malapetaka bagi manusia. Baik secara individu maupun berkelompok, bahkan secara kelembagaan.
Komunikasi adalah proses penyampian pesan, serta berbagi makna melalui perilaku verbal maupun nonverbal. Dalam proses komunikasi, keberhasilannya ditentukan oelh berbagai faktor. Baik secara internal maupun eksternal. Suksesnya proses komunikasi jika dapat menghasilkan komunikasi yang efektif, yang tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor baik itu dari segi komunikator maupun dari komunikan.
Proses komunikasi sendiri juga tidak lepas dengan adanya persepsi yang dibentuk oleh pikiran manusia. Yang kemudian ditangkap oleh alat indera, dan terproses dengan kolaborasi ingatan.
Komunikasi yang kurang diimbangi dengan adanya persepsi yang tepat dapat menyebabkan kesalahan dalam memnyampaikan pesan, dari komunikator ke komunikan. Tidak sedikit terjadi kesalahpahaman dalam aktivitas komunikasi, sebagai akibat dari persepsi yang tidak seiring oleh salah satu pihak pelaku komunikasi.
Akibat yang ditimbulkan dapat menimbulkan maslaah, baik skala kecil maupun besar. Baik secara individual, kelompok ataupun secara organisasi dan lembaga. Kita sebut saja beberapa akibat yang dapat ditimbulkan, yakni pertikaian, konflik berkepanjangan. Hal ini, karena kedudukan persepsi memiliki peran yang mampu menguatkan informasi atau pesan yang disampaikan dalam proseskomunikasi.
 Komunikasi efektif dapat tercapai, apabila pelaku komunikasi memahami tentang pengertian dari komunikasi efektif, proses komunikasi efektif dan unsur-unsur komunikasi efektif.
  
B.     Pembahasan
1.      Persepsi Adalah Inti Komunikasi
Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran atau interpretasi adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian dalam proses komunikasi. Menurut J Cohen dalam buku Deddy Mulyana, persepsi didefinisikan sebagai interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal ; Persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana.
Sedangkan, McShane dan Von Glinov pada buku Wibowo mendefiniksikan persepsi sebagai proses menerima informasi membuat pengertian tentang dunia sekitar. Hal tersebut memerlukan pertimbangan informasi mana yang perlu diperhatikan, bagaimana mengkatagorikan informasi, dan bagaimana menginterpretasikan dalam kerangka kerja pengetahuan yang telah ada.
Persepsi dikatakan sebagai inti komunikasi, karena persepsi dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi yang dilakukan. Jika persepsi seseorang tidak akurat, maka seseorang tersebut tidak mungkin untuk berkomunikasi secara efektif.
Seseorang hidupdan melakukan aktivitas dalam suatu lingkungan dinamis dan berinteraksi dengan orang lain yang berada didalamnya. Orang-orang dapat melihat objek  yang sama, tetapi dapat memiliki kesan yang berbeda terhadap objek tersebut. Begitu pula dengan pandangan seseorang yang juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Kesan seseorang dipengaruhi oleh informasi yang ia miliki. Masalahnya, menjadi lebih kompleks jika persepsi seseorang terlalu cepat disimpilkan. Sehingga dapat memungkinkan hilangnya sebagian dari informasi. Hal tersebut dapat berakibat pada terjadinya bias persepsi.



a.       Faktor yang mempengaruhi persepsi
Persepsi dibentuk oleh tiga faktor yakni (1) Perceiver, Orang yang memberikan persepsi, (2) Target, orang atau objek yang menjadi sasarn persepsi, (3) situasi, keadaan pada saat persepsi dilakukan.
Faktor perceiver mengandung bebeepa komponen. Antara lain; sikap, motif, minat atau kepentingan, pengalaman, dan harapan. Sedangkan faktor target memiliki tujuh komponen, antara lain; novelty atau sesuatu yang baru, gerakan, suara, besaran dan ukuran, latar belakang, kedekatan, dan kesamaan. Pada faktor situasi mengandung tida komponen, yakni; waktu, pengaturan kerja, dan pengaturan sosial.
Apabila melihat faktor tersebut, target persepsi akan berusaha meninterpretasikan pada yang Perceiver lihat. Interpretasi ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik personal dari pemberi persepsi. Disamping itu, situasi dapat mempengaruhi persepsi yang terbentuk.
Jika seseorang melihat atau mendengan pesan yang disampaikan orang lain, maka persepsi terhadap orang itu mungkin saja keliru atau salah. Dalam hal demikian maka telah terjadi kesalahan persepsi.
Kesalahan persepsi tersebut, terbagi dalam beberapa bentuk. Diantaranya,
1.      Kesahahan atribusi. Atribusi adalah proses internal dalam diri kita untuk memahami penyebab perilaku orang lain. Namun terkadang dugaan sseseorang kepada orang lain, tidak selalu benar.
2.      Efek Halo. Efek halo ini merujuk pada fakta bahwa begitu kita membentuk suatu kesan menyeluruh mengenai seseorang, kesan menyeluruh ini cenderung menimbulkan efek yang kuat atas penilaianseseorang akan sifat-sifat yang spesifik.
   Stereotip. Yakni mengeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai seseorang berdasarkan keanggotaannya dalam suatu kelompok.
      Prasangka, yang juga menjadi suatu konsep yang dekat dengan streotip.
    Gegar budaya. Adalah suatu ketidakmampuan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang baru.

Meskipun kesalahan persepsi ini kepar terjadi, proses perspsi itu sendiri tidak dapat dipintas atau dipotong. Sehingga yang harus dilakukan oleh pelaku komunikasi, yakni memperkecil bias dan distorsi yang ditimbulkan oleh persepsi. Dengan begitu kemungkinan untuk mencapai komunkasi efektif semakin meningkat.

2.      Persepsi Dalam Efektivitas Komunikasi
Menurut Colquitt, LePine, dan Wesson dalam Wibowo, faktor yang memengaruhi efektivitas proses komunikasi adalah Komunikator, isu, noise, information richness, dan network structure.
Pada faktor komunikator, perlu adanya encode, mensandi dan menginterpretasikan pesan, dan aktivitas ini bisa menjadi sumber masalah komunikasi. Interpretasi receiver mungkin saja bisa salah, yang terlebih dahulu diawali oleh persepsi yang salah. Sehingga penerima pesan memiliki kemungkinan salah dalam menginterpretasikan pesan.
McShane dan Von Glinov menekankan, bahwa efektivitas komunikasi, tergantung pada kemampuan komunikator dan komunikannya atau receiver nya. Untuk secara efesien dan akurat encode, memberi sandi dan decode, serta memecahkan sandi informasi.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi efektivitas proses encode dan decode. Diantaranya, komunikator dan komunikan memiliki referensi simbol dan kode yang sama, memiliki model mental yang sama, serta pengalaman. Faktor ini juga tentunya membentuk persepsi dan membantu dalam mengiterpretasikan sebuah pesan dalam aktivitas komunikasi. Sehingga sangat penting bagi pelaku komunikasi menyadari bias nya persempsi untuk memperkecil tingkat kegagalan dalam membangun komunikasi efektif.

C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan, peranan persepsi dalam membentuk komunikasi efektif sangat penting. Dimana aktivitas komunikasi dapat gagal, karena ada kegagalan persepsi atau persepsi yang salah, antara komunikator dan komunikan. Sehingga penting bagi pelaku komunikasi menyadari bias persepsi yang terjadi saat melakukan proses penyampaian informasi.
Meskipun kesalahan persepsi dengan berbagai bentuk sering terjadi terjadi dalam proses komunikasi, namun proses pembentukan persepsi tersebut juga tidak dapat dipotong. Sehingga yang harus dilakukan oleh pelaku komunikasi, yakni memperkecil bias dan distorsi yang ditimbulkan oleh persepsi. Dengan begitu kemungkinan untuk mencapai komunkasi efektif semakin meningkat.

Daftar Pustaka
Mulyana, Deddy.  Ilmu Komunikasi ; Sebuah Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Mulyana, Deddy.  Komunikasi Efektif ; Pendekatan Lintas Budaya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2008

Wibowo.  Perilaku Dalam Organisasi ; Edisi Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015.